Monday, 11 March 2013

LARA BUMI ACEH

(Acehku Sayang)
DESKRIPSI FILM:

Dari film dokumenter Atjeh Lon Sayang ­(A film by: Syaiful H. Yusuf): Gempa yang disusul Tsunami, bencana luar biasa yang memporakporandakan Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 lalu. Bencana ini membuat banyak dari penduduk dunia tercengang. Apalagi jika melihat berapa banyak korban jiwa yang terenggut ataupun hilang dan bagaimana cara mempertahankan diri. Ratusan bahkan ribuan bangunan kokoh runtuh, melebur dengan tanah yang basah tergenang air. Sebagian warga Aceh yang mempunyai pikiran positif akan mengatakan bahwa, semua itu adalah cobaan dari Allah SWT. Namun, sebagian lainnya yang memiliki pandangan berkebalikan, maka ia akan mengadu dan dan bahkan mengeluh dengan apa yang menimpa tanpa introspeksi diri.
Mereka yang menjadi korban sekaligus saksi hidup “Tsunami Aceh” hanya bisa tertegun melihat keporakporandaan yang ada disetiap dan sejauh pandangan mata. Mereka harus melihat ratusan manusia tak bernyawa mengapung dihadapan mereka, tanpa tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Mereka harus melihat keadaaan yang terlalu pahit untuk diingat dikemudian hari. Acehku sayang Acehku malang. Mungkin itu yang terbesit dalam benak saksi-saksi hidup saat menyaksikan asinnya air laut menerjang daratan yang mengubah manisnya hidup menjadi sebuah kepahitan yang membekas.
Tipuan surutnya air laut yang menggiurkkan anak-anak pesisir pantai untuk memungut ikan yang bercecer di tepi pantai justru membawa petaka. Ombak besar bahkan lebih dari besar menggulung dan menerjang mereka dari belakang. Terhempas. Ya tubuh-tubuh mungil lemah tak berdosa terhempas menghantam kerasnya beton-beton bangunan yang dalam sekejap juga ikut hanyut terbawa ombak yang mengalirkan arus begitu derasnya ke tengah kota. Seketika laut meluas, menggarami keperihan bumi Aceh. Orang-orang panik. Banyak, mungkin terlalu banyak korban jiwa mengalir bersamaan dengan dengan air laut. Banyak anak yang kehilangan rumah, bahkan orangtua. Tak akan terpikir oleh mereka sebelumnya. Hidup sendiri tanpa siapapun.
Terlalu lemah untuk bocah lugu tak berdosa untuk hidup sendiri. Dan terlalu riskan untuk mereka hidup sebatang kara. Mental dan segala kondisi lainnya harus segera diperbaiki demi masa depan mereka. Anak-anak butuh tempat nyaman untuk mereka berbagi, bermain dan menghabisakan waktu. Teuku Abdul Razak dan Teuku Reza Idria. Beliau-beliaulah yang tanggap dan peduli pada korban terutama anak-anak. Memberikan kesempatan dan kebebasan untuk bermain dan melupakan apa yang telah terjadi.
Terlalu banyak konflik dan benih kebencian di negeri Aceh. Tidak hanya untuk Tanah Air Indonesia, tetapi kepada sesama orang Aceh. Introspeksi. Ya, mungkin itu yang harus dilakukan. Segala yang terjadi tak mungkin Tuhan tak punya alasan. Bersatulah Bumi Serambi Indonesia.
‘Bangkit Aceh’ sebuah kegiatan yang diusung oleh seniman asal Aceh, Teuku Reza Idria. Acara untuk mengajak korban gempa dan tsunami Aceh berdoa dan berdzikir pada Allah SWT. Sangat disayangkan, acara ini kurang menarik bagi para korban. Tak ada antusias. Teuku Reza Idria merasa bencana dahsyat ini masih kurang mempan untuk dijadikan pelajaran untuk introspeksi dan berubah menjadi lebih baik.

Teuku Abdul Razak, ia adalah salah satu pengasuh Dayah yang menampung anak-anak yang kehilangan keluarganya. Para pengasuh berusaha memberikan apa yang anak-anak butuhkan. Termasuk kasih sayang, hingga mereka merasa tak sendiri lagi. Mereka bermain, mengaji dan melakukan segala kegiatan lainnya dengan bebas. Sesuai apa yang mereka mau. Mereka berusaha untuk terus mengisi hari-hari mereka bersama teman-teman sebayanya. Karena ketika mereka duduk sendiri ditengah sepinya suasana, bayangan mengerikan akan gempa dan tsunami itu menyeruak kembali seolah menjadi teror yang membayangi kesunyian. Mengerikan!
PEMBACAAN FILM:
Dari film dokumenter tersebut terlihat ada beberapa hal yang ingin disampaikan kepada pemirsa, antara lain:
 Ø Bencana Dahsyat
Tayangan Aceh Lon Sayang jelas menggambarkan bagaimana dahsatnya bencana yang menerpa hingga meluluh-latakan semua yang berdiri, pohon, beton-beton bangunan kokoh, bahkan manusia dan segala yang ada dihadapannya. Air laut yang luar biasa dahsyat mampu mengoyak segalanya. Tsunami meninggalkan luka kepedihan dan kepahitan bagi korbannya. Korban yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit.
 Ø Kesakitan, Kepedihan dan Ketakutan
Pembacaan puisi di awal yang begitu menghayati dangan pengambilan gambar yang pas dapat mewakili bagaimana sakitnya, pedihnya, dan perihnya tsunami itu. Tsunami yang membuat kepanikan dan ketakutan akan kehilangan yang bersamaan dating bersama kesedihan. Bencana yang akan tetap menjadi kenangan pahit nan menyakitkan. Terutama bagi anak-anak tanpa dosa yang harus kehilangan orangtuanya.
 Ø  Porak-Poranda, Luluh Lantak
Semua berubah seketika. Beton-beton bangunan kokoh melebur bersama terjangan derasnya arus air laut. Kendaraan-kendaraan mengapung, hanyut bersama bongkahan-bongkahan kayu, sampah bahkan manusia tak bernyawa. 60 KM. Jarak yang luas. Walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan luas Aceh secara keseluruhan. Namun, keporak-porandaan ini termasuk sampai ke Ibukota, Banda Aceh. 
 Ø Kehilangan
Semua meresa kehilangan. harta, benda, bahkan nyawa sanak saudara. Banyak dari korban yang tidak ditemukan. entah sudah meninggal, atau hilang entah dimana. Kehilangan membuat anak-anak polos tanpa dosa tak tau harus berbuat apa. Terlalu berat untuk mereka hidup sendiri. Ditengah upaya menyelamatkan diripun masih ada upaya untuk mencari orang tua dan sanak saudara. Tapi apa daya mau dikata.
 Ø Kepedulian
Tak banyak orang yang mau peduli dengan kesusahan dan kesakitan yang dirasakan para korban. Mungkin terlalu rumit. Namun, tetap ada beberapa orang yang masih peduli dengan keadaan korban. Terutama bagi anak-anak yang menjadi korban, Teuku Reza Idria dan TeukuAbdul Razak, adalah dua orang dari sekian yang peduli dengan para korban. Beliau-beliau ingin membalut dan megobati luka-luka hati,jiwa dan raga yang tebuka lebar pasca terkena asinya air laut. Terganbarkan jelas betapa pedulinya beliau-beliau dengan keadaan para korban. Terutama anak-anak sebagi generasi penerus bangsa.


Inspirasi yang Didapat dari Film:

Aceh, daerah istimewa yang sempat goyah dan terkoyak karena bencana yang super dahsyat yang menewaskan ratusan ribu korban jiwa, meluluh lantakkan bangunan rata dengan tanah, bahkan hilang, hanyut terbawa arus, menumbangkan pohon-pohon. Semua berantakkan. Tapi Aceh dengan segala relawan dengan kepedulian tinggi dan tingkat kekuatan serta keinginan yang tinggi untuk kembali bangkit mewujudkannya. Aceh tidak lantas menjadi kota mati. Namun semua bergerak untuk kebangitan dan membangun kembali Aceh. Kepedihan, kesedihan dan kesakitan bukan mebjadi penghalang untuk tetap pertahan dan terus bangkit. Ya itulah Aceh. Semoga semakin bisa bersatu tanpa ada kesenjangan.

Monday, 4 March 2013

Kantin Ber-Gadget

Kantin poltek, siang ini kayak biasanya, bukan mahasiswa Poltek yang menuhin buat makan siang. Tapi malah lautan biru seragam IM Telkom yang keliatan di bangku-bangku kantin. Kalo masalah ini ga tau mulainya dari kapan. Ah, sudah, lupakan! Kali ini kita bukan bahas itu. Tapi bahas orang yang gue amatin selama tadi Gue ada di kantin.
Namanya juga jam makan siang, pastilah yang namanya kantin itu penuh. Akhirnya kita (gue, Prima, Wilda sama Manda) berjibaku buat nyari tempat kosong. Nemulah kita 1 bangku kosong dipojok luar kantin Poltek. ternyata udah ada 2 cewe yang masing-masing lagi main gadget duduk disebelah bangku kita. Yang satu asik main game, yang satu ga jelas main gadget buat apa, abisnya pake anti spy sih, jadi ga keliatan (ceritanya kepo).
Kebetulah ada tugas buat ngamatin orang, yaudah, gue putusin buat amatin mereka. Mereka temen satu prodi kita. Ica sama Fanny. Tapi disini gue  cuman mau deskripsiin salah satunya doang (yang udah pernah kenal).
Namanya Anisa Azlina, panggil dia Ica. Dia temen satu prodi Gue, IKOM, cuman beda konsentrasi. Dia Marcomm, gue broadcast. Emang ga terlalu kenal sih, cuman sebatas tau. Jadi gue bakalan deskripsiin sebatas apa yang gue tau dan gue liat aja.
Ica itu seorang cewe berkulit putih pucat, rambutnya panjang direbonding, masalah tinggi badan, dia itu ga terlalu tinggi ga terlalu pendek juga,  feminim (soalnya gue liat dia lebih sering pake rok daripada celana), kalo masalah cantik apa engganya itu relatif dan terakhir dia orang Bogor (soalnyadia temennya temen gue, haha). Itu aja sih kayanya yang gue tau dari Ica. Harap maklum, ga deket juga sih (semoga ga sotoy).
Kesimpulan gue, dulu kantin itu cuman jadi tempat makan. Tapi sekarang, jadi tempat main gadget, nogkrong dan sebagainya. Entah apa aja yang mereka lakuin sama gadgetnya itu, ga bisa lebih kepoin satu-satu dari masing-masing orang yang ada di kantin. Hal yang sama kayak yang orang-orang lakuin di zaman sekarang, termasuk gue (meskipun gadget minjem). Kantin, sekarang bisa jadi tempat makan sekaligus nogkrong juga main gadget.
Sebenernya kebetulan aja ketemunya Ica ama Fanny pas di kantin, jadi akhirnya mereka yang jadi objek yang Gue amatin. Nyatanya banyak yang bisa Gue amatin dengan perilaku yang sama, berhubung tugasnya ngematin orang yang dikenal, yaudah, waktu itu adanya itu. Maaf yaa ga izin dulu J.

Sunday, 3 March 2013

Mimi Rasinah, Sang Maestro Tari


Deskripsi Film:


Dari film dokumenter Selamanya Mutiara (A film by: Syaiful H. Yusuf): Mungkin inilah yang disebut kecintaan yang luar biasa, profesionalitas dan totalitas dalam mengabdi untuk terus melestarikan kebudayaan nusantara. Kecintaan dan keinginan Mimi Rsianah, seorang maestro tari dari Indramayu yang namanya telah tersohor di dalam maupun luar negeri itulah yang membuatnya gigih dan terus bertahan untuk tetap berkarya sampai akhir khayatnya.
Mimi Rasinah adalah seorang wanita yang usianya sudah tidak bisa disebut muda lagi, ya, paruh baya tepatnya. Namun, hal itu tak menghalanginya untuk terus berada diatas panggung, menari mengikuti alunan musik gemelan. Dengan gerakan-gerakannya yang memukau penontonnya. Tidak heran. Mimi Rasinah telah mulai menari sejak masih berumur 5 tahun. Ayahnya, Lastra yang juga adalah penari menjadi guru yang mengajarkannya hingga menjadi seorang penari handal.  Diusianya yang menginjak 7 tahun Mimi Rasinah mulai diajak untuk mengamen di berbagai tempat seputaran Jawa Barat.
Ayahnya pula lah yang menunjuknya untuk menjadi seorang penerus Tari Topeng, khususnya Tari Panji. Ketika usianya menginjak 9 tahun, ia harus melakukan ritual untuk bisa menjadi seorang Penari Panji dan berbagai tari topeng lainnya, Tirakat namanya. Saat itu Mimi Rasinah masih sangat muda untuk mengerti apa arti ritualnya. Disiplin tinggi selalu Lastra terapkan pada setiap latihan Mimi Rasinah. Akan ada hukuman ketika kesalahan dilakukan. Setelah dirasa menguasai semua jenis tari topeng, Mimi Rasinah diberikan warisan topeng Panji yang telah turun temurun diberikan.
Meskipun namanya telah mendunia, namun ia beserta murid-murid di sanggar tarinya tetap menerima tawaran manggung di acara-acara kecil, misalnya hajatan. Mimi Rasinah tidak pernah memilih-milih ketika ada tawaran manggung. “Seorang seniman ga boleh milih-milih” pernyataan Aerly, cucu Mimi Rasinah mempertegas. Cucu-cucu Mimi Rasinah dan anak muridnya di sanggarnya sangat terharu, terkesan dan kagum akan kegigihan Mimi Rasinah, sehingga mereka bertekad untuk juga meneruskan perjuangan Mimi Rasinah untuk melestarikan dan meneruskan sanggar tari topengnya yang tidak hanya mengajarkan tari, namun juga mengajarkan bagaimana memainkan gamelannya.

Pembacaan Film:
Dari film dokumenter tersebut terlihat ada beberapa hal yang ingin disampaikan kepada pemirsa, antara lain:
Ø  Tradisi dan Kesenian
Dalam film ini diperlihatkan sebuah tradisi dan kesenian di Indonesia yang masih dijalani seorang Mimi Rasinah sebagai penari bahkan maestro tari. Mimi rasinah beserta sanggar tarinya. Dan bahkan ia menjalankan tradisi “tirakat” sebelum ia menjadi penari topeng yang sesungguhnya, seperti sekarang.
Ø  Perjuangan
Film ini menggambarkan bagaimana Mimi Rasinah berjuang dan memperjuangkan apa yang harus Mimi Rasinah perjuangkan. Tari Topeng. Yah itu dia! Mimi Rasinah berusaha untuk mengenalkan Tari Topeng dimanapun dan kepada siapapun. Tidak memandang tampat dan kelas. Dengan segala keterbatasan yang ia miliki, ia tetap memiliki tekad untuk tetap menari. Apapun konsisinya dia akan tetap menari, usia ataupun keterbatasan fisik tidak akan mengahalangi, kecuali jika Tuhan memanggilnya.
Setiap angle pengambilan gambar memperlihatkan setiap detil perjuangan yang dilakukan dan  keindahan lekuk tariannya yang memukau yang dapat mencerminkan sebagaimana kegigihannya dalam mengabdi dan demi melaksanakan apa yang telah diturun-temurunkan padanya.
Ø  Harapan
Sekalipun tidak terungkap dan diungkapkan, namun tersirat harapan bahwa Mimi Rasinah ingin Tari Panji dan tarian tradisional beserta permainan gamelannya tetap ada dan tetap lestari. Hal ini terbukti dengan segala perjuangannya yang tidak pernah lelah dan tidak pernah berhenti hingga Mimi Rasinah meninggal. Salah satu harapan yang diungkapkannya adalah keinginan untuk naik haji. Digambarkan dengan scene Mimi Rasinah yang sedang solat, hingga terlihat sisi religiusnya.
Ø  Inspirasi
Sangat terlihat bahwa film Selamanya Mutiara ini ingin menyampaikan, memberikan dan mendatangkan inspirasi kepada pemirsanya. Film ini dikemas secara apik namun tetap sederhana, sehingga pemirsa dapat maksud yang disampaikan.

Inspirasi yang Didapat dari Film:
Mimi Rasinah memberikan inspirasi kepada kita semua, terutama para generasi muda penerus bangsa agar memiliki hasrat atau keinginan untuk mempelajari dan selanjutnya melestarikan kebudayaan dan atau kesenian yang kita miliki sebagai warisan leluhur. Setidaknya hal ini dapat meminimalisir pengakuan oleh negara lain terhadap kebudayaan dan kesenian yang kita miliki. Dapat kita lihat betapa gigih dan cintanya Mimi Rasinah hingga ia memutuskan untuk menjadi penari sampai akhir khayatnya. Mimi Rasinah juga menaruh sebuah harapan melalui tariannya, ia berharap dapat melaksanakan rukun Islam yang terakhir, pergi Haji, sungguh harapan yang sangat mulia.
Kini, Aerly, cucu perempuannya yang meneruskan sanggar tarinya beserta berbagai tariannya. Aerly dapat menjadi contoh bagi para generasi muda. Ia mau mengabdi untuk meneruskan apa yang telah diperjuangkan neneknya.




Sunday, 24 February 2013

Interesting Things


Suka bingung mau nulis apa kalo ngomongin hal-hal menarik, dari diri gue maupun hidup gue. Entah saking banyaknya atau ga bisa nyeritainnya atau lupa atau mungkin ga ada. Tapi kayaknya ga mungkin banget kalo gue ga punya sesuatu yang menarik buat gue tuangin jadi tulisan, ya minimalnya hal itu menarik buat diri gue. Jadi ya gini deh cerita gue:
Ketertarikan gue di dunia teater muncul dari gue kelas IX. Saat itu gue pikir asyik kali ya belajar akting yang ga sekedar belajar akting kayak sinetron-sinetron di tv yang isinya tampar-tamparan sama jambak-jambakkan. Seenggaknya kalo di teater kita punya pengetahuan lebih tentang sebuah pementasan yang teatrikal, yang bisa menarik perhatian penonton dengan tata panggung plus peran yang dimainin sama ‘artis’nya.
Beruntung gue masuk di SMA favorit yang emang nyediain ekskul teater (SMA Negeri 1 Banjarnegara dengan ekskul teaternya yang bernama ‘Teater Mega’). Tadinya gue ga tau kalo ada ekskul teater di SMA ini, emang udah jodoh kali ya (hahahaha). Dari mulai pengenalan eksul di masa orientasi siswa (MOS), kayaknya emang udah menarik, khususnya buat gue, orang-orangnya juga kayanya asyik.
Mulailah gue masuk dan gabung ama Teater Mega bareng sama anggota lama plus baru waktu itu. Emang bener, ternyata orang-orang di dalemnya asyik, bisa menghibur dan bisa jadi temen sharing, jalan-jalan maupun ngumpul. Emang udah kayak keluarga sih. Nyaman. Ga cuman nyaman, dapet temen dan hiburan pas lagi jenuh sama pelajaran sekolah tapi dari situ kita juga diajarin macem-macem.  Teater Mega ngajarin gue banyak hal, terutama tentang dunia teater. Ternyata ga cuman sebatas pengetahuan tentang teater, tapi Teater Mega sempet ngajak gue buat produksi sebuah film pendek (beruntung belom ada ekskul Cinematografi waktu itu, jadi kita masih bisa bikin film, setahun kemudian baru deh Cinematografi ada). Tujuan bikin film pendek ini bukan buat ikut kompetisi, tapi seenggaknya bisa buat bekal pengetahuan dasar gimana sih sebenernya produksi film itu, gimana susahnya, gimana ribetnya dan gimana kerja timnya.
Produksi film ini berjalan sekitar seminggu, masih belom ditambah proses editing. Ga tau waktu produksinya terlalu lebay apa enggak buat ukuran film yang cuman berdurasi 15 menit. Prosesnya lama juga mungkin gara-gara kita ngambil lokasi yang medannya agak susah (di curug/air terjun dan desa yang agak terpencil) .
Di produksi film pendek pertama gue ini, ternyata gue bisa ngarasain gimana enjoynya, gimana ribetnya, gimana kerja timnya. Dan ternyata, itu semua asyik (baca: menyenangkan). Disini gue baru sadar, ternyata minat gue ada di biadang produksi-produksi belakang layar yang ada hubungannya sama penyiaran lebih gede dibandingin gue harus tampil di depan layar ataupun di depan banyak orang sebagai seorang talent. Kerja tim di balik layar itu asyik, butuh kekompakan dan yang penting gue ngrasa ya inilah ‘comfort zone’ gue.
Setelah gue tau apa minat gue, ga gitu aja gue lepas dari teater. Teater kan bukan hanya apa yang ada di depan panggung dan apa yang di tampilin di panggung. Di balik itu semua butuh orang-orang yang nge-handle balik panggungnya. Toh gue juga masih bisa belajar di situ. Gue juga bisa belajar gimana biar ga terlalu kaku, nervous atau temen-temen sejenisnya pas di depan banyak orang. Itu juga ga kalah penting.
Kelas XII, karena emang jurusan gue di SMA itu IPA, jadi sempet gue pengen kuliah di jurusan farmasi sama teknik, tapi alhamdulillah ga lolos, jadi gue akhirnya milih jurusan yang emang ga ada hubungannya sama IPA, yaitu Ilmu Komunikasi. Sempet nyoba daftar di 2 PTN, tapi belom jadi jalan gue buat kuliah di PTN mungkin, makanya gue ga keterima, so gue mutusin buat nyari PTS. Akhirnya ketemulah sama Institut Manajemen Telkom.
Awalnya gue ga tau sama sekali gimana itu kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dari nama jurusannya sih keren, itu alasan pertama gue. Dan gue pun sebenernya ga tau kalo ada broadcasting di dalem lingkup Ilmu Komunikasi. Beruntunglah dan alhamdulillah gue diterima di Institut Manajemen Telkom, yang di dalemnya ada 2 konsentrasi yang salah satunya ya broadcasting tentunya. Pernah ada orang yang nanya ke gue “Kuliah dimana mbak? Jurusan apa?”, dengan polosnya ya gue jawab jujur “di Telkom, jurusan Ilmu Komunikasi”. Ternyata masih ada pertanyaan tambahan. Dia nanya “Loh? Emang selama ini belum bisa berkomunikasi mbak?” pertanyaan itu cuman gue jawab pake senyum, abisnya gue pikir kalo gue jelasin, ntar jadinya malah makin panjang lebar ga abis-abis kaya sinetron (saking banyaknya yang kudu dijelasin). Senyuman gue mungkin bisa jadi wakil.
Sejauh ini, tugas-tugas konsentrasi broadcasting bisa dibilang nyenengin (walaupun banyak dan bahkan kata anak marcomm ribet dan bikin pusing) soalnya biasanya, dari tugas-tugas yang dikasih sama dosen bisa ngasih kita kesempatan buat mengeksplor dunia luar. Yang penting lagi dari tugas-tugas yang dosen kasih pasti ada tambahan pengetahuan dan pengalaman lain disamping pengetahuan dari tugasnya sendiri. Salah satu contohnya, ya tugas buat bikin blog. Jadi gue bisa belajar gimana sih caranya nge-blog. For me, it’s fun.

INSPIRASI > IDE > NULIS > ‘SESUATU’


Nulis, bisa jadi media buat nuangin inspirasi yang kita dapet. Dari inspirasi kita bisa nangkep ide hasil pengerucutan inspirasi  yang selanjutnya bisa kita tuangin jadi sebuah tulisan yang bisa disimpen dan baca sendiri juga orang lain. Jadi, inspirasi, ide sama pikiran kita ga cuman sekedar disimpen buat kita sendiri yang bahkan kalo ga ditulis, kita bisa lupa. Sayang kan kalo kayak gitu? So? Mending ditulis, biar bisa jadi produk yang ada gunanya buat kita mungkin juga orang lain.
Sebenernya, inspirasi itu bisa dateng darimana aja, tergantung imajinasi seseorang, kalo punya tingkat imajanasi yang tinggi, mungkin ga perlu lama-lama buat seseorang itu nuangin idenya ke dalam bentuk apapun, tapi kalo yang masih baru mulai ngelatih daya imajinasinya buat jalan, ya bisa dimaklumi kalo agak lama buat nuangin inspirasi sama ide itu jadi ‘sesuatu’. Kalo buat gue masalahnya itu, idenya yang ga selalu dateng beriringan biar si inspirasi itu bisa dibikin jadi ‘sesuatu’ (menurut gue sih, ide-lah yang sebenernya butuh proses panjang buat ditemuin, ini sih menurut gue, mungkin beda ama orang lain).