Saat Menebar Mimpi, film dokumenter yang beirsikan
tentang sebuah hal yang dianggap sebagai pengulagan dari apa yang pernah
terjadi setengah abad yang lalu pada masa itu, pemilihan umum alias PEMILU,
khususnya mengenai perjuangan seorang calon legislatif untuk mendapatkan sebuah
‘kursi’ di Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang pada saat itu memang merupakan
badan legislatif baru.
Bicara tentang PEMILU tidak akan pernah lepas dari dunia
pollitik, calon legislatif, partai, independen, kampanye dan lain sebagainya.
Kampanye merupakan kegiatan yang gencar dilakukan para calon legislatif yang
maju dalam persaingan memperebutkan ‘kursi’ untuk menduduki tahta sebagai wakil
rakyat. Para calon wakil rakyat akan menciptakan citra sebaik-baiknya untuk
mendapat perhatian dan sorotan massa.
Janji-janji dan mimpi-mimpi manis akan banyak terlontar
dari mulut para calon wakil rakyat. Pencitraan diri pada warga kurang mampu
akan banyak dilakukan. Kawasan-kawasan kumuh akan silih berganti mendapatkan giliran
kunjungan dari para calon wakil rakyat untuk menyuarakan semua mimpi dan
janjinya, juga menciptakan citra untuk merangkul rakyat kecil. Persaingan untuk
memperebutkan satu ‘kursi’ wakil rakyat itupun menjadi ajang menebar janji dan mimpi manis.
Namun, untuk menaklukan massa tidak semudah para wakil
rakyat melontarkan janji dan mimpi manisnya ketika berkampanye. Warga,
khususnya rakyat kecil yang sudah terlalu sering merasakan dan menelan pil
pahit dari jejalan janji dan mimpi manis saat calon wakil rakyat berkampanye.
Mereka sudah cukup jera untuk merasakan sakit hari. Rakyat kecil merasa terlalu
sering mereka terbodohi oleh janji-janji dan mimpi-mimpi manis yang palsu.
Tidak sedikit dari mereka yang berniat untuk tidak menggunakan hak suaranya untuk
memilih wakilnya sendiri di badan legislatif.
Bambang Warih Koesoema adalah seorang mantan menteri yang
kemudian mencalonkan diri sebagai seorang calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
pada PEMILU 2004. Bambang Warih Koesoema sebagai seorang calon independen yang
kemudian mencari koalisi partai untuk menambah dukungan adalah salah seorang
calon anggota DPD yang selalu terjun langsung saat menebar mimpi-mimpinya
kepada calon pemilih. Pemasangan poster di pinggir jalan, pencarian partai
untuk berkoalisi dan kegiatan-kegiatan kampanye lain ia tangani sendiri secara
langsung. Ia ingin memastikan semuanya berjalan sesuai keinginannya. Dana yang
Bambang Warih Koesoema gunakan selama berkampanye adalah dana pribadi yang
kemudian ditambah dengan dana dari donatur.
Mimpi, yang menurut sebagian orang adalah hal yang sangat
tabu untuk dipercaya, bahkan kebanyakan
orang takut untuk bermimpi, malah mimpi menjadi sesuatu yang wajib dimiliki
oleh Bambang Warih Koesoema. Bambang beranggapan mimpi adalah awal dari semua hal.
Menurut Bambang, ketidak beranian untuk bermimpi adalah sesuatu yang salah.
Karena mimpi adalah awal untuk mencapai suatu hal yang menjadi tujuan. Menurut
Bambang, kehidupanlah yang kemudian mengajarkan para manusia sekarang untuk
hidup realistis.
Disisi lain, J. Kristiadi, seorang pengamat politik
mengatakan bahwa mimpi memang bukan suatu hal yang salah. Tapi, tidak sebaiknya
warga atau rakyat diajak untuk bermimpi
akan suatu hal yang akan diyakini oleh masyarakat luas yang dapat menimbulkan
masalah nantinya. Berpikir dan bertindaklah sesuatu yang realistis. Itu lebih
baik.
Persaingan dunia politik mempang terlalu keras. Seorang
mantan menteri Republik Indonesia yang harusnya telah memiliki nama dan reputasi ternyata tidak membuat Bambang Warih
Koesoema dapat memenangkan persaingan dan mendapatkan sebuah ‘kursi’ untuk
menempati posisi sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah pada saat itu.
Pencitraan dan mimpi-mimpi yang Bambang Warih Koesoema tebarkan belum dapat
menaklukan dan meluluhkan hati massa untuk memilih dirinya sebagai wakil di
legislatif. Terbukti bukan hanya reputasi dan nama yang dapat merebut satu
‘kursi’ di rana politik. Banyak faktor lain yang harus mendukung. Yaa, itulah
politik! Rumit!
Penerapan ideologi demokrasi di Indonesia memang harus
ditinjau ulang. Demokrasi yang seharusnya menuntut warga atau rakyatnya aktif
untuk memperjuangkan suara dan haknya, justru malah membuat rakyatnya merasa
terbodohi dengan segala janji-janji dan mimpi-mimpi manis dari para calon
legislatif, hingga membuat mereka jera untuk memilih. Demokrasi yang harusnya
mengedepankan suara rakyat malah membuat warganya malas unutk bersuara. Jika
ingin tetap menerapkan demokrasi sebagai ideologi, jadikan rakyatnya untuk
lebih aktif berbicara dan memperjuangkan segala hak-haknya. Latih rakyatnya
untuk berani menyuarakan aspirasinya juga tindakannya. Latih juga para calon
wakil rakyat maupun wakil raknyat terpilih untuk menerima, menampung dan
memperjuagkan apa yang menjadi suara dan aspirasi rakyatnya.
No comments:
Post a Comment