Tuesday 11 June 2013

Babel: 4 Negara, 3 Benua, 1 Benang Merah


Babel adalah sebuah film hasil arahan sutradara Alejandro González Iñárritu yang dirilis pertama kali pada tahun 2006 lalu. Film ini pernah menjadi pemenang dalam Golden Globe dan nominasi Academy Award. Film ini pertama kali diputar pada tahun 2006 dalam Cannes Film Festival serta memenangkan Film Terbaik Golden Globe Award, dan dinominasikan untuk tujuh Academy Award, termasuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik.
Film yang mengambil 4 setting tempat di tiga benua ini mengupas satu benang merah dalam cerita yang sedikit rumit di awal hingga pertengahan film. Film ini dibintangi oleh Brad Pitt sebagai Richard Jones, Cate Blanchett sebagai Susan Jones (istri Richard Jones), Boubker Ait El Caid sebagai Yussef,  Said Tarchani sebagai Ahmed, Mohamed Akhzam sebagai Anwar (yang membantu dan menolong Richard Jones di Maroko, Mustapha Rachidi sebagai Abdullah (ayah dari Yussef dan Ahmed), Elle Fanning sebagai Debbie Jones dan Nathan Gamble sebagai Mike Jones (anak dari Richard Jones dan Susan Jones), Adriana Barraza sebagai Amelia (pengasuh anak-anak dari Richard Jones dan Susan Jones), Rinko Kikuchi sebagai Chieko Wataya, Koji Yakusho sebagai Yasujiro Wataya (ayah dari Chieko Wataya), Satoshi Nikaido sebagai Detektif Kenji Mamiya, serta Yuko Murata sebagai Mitsu (teman dari Chieko Wataya). Berikut adalah kisah yang mereka perankan dalam Babel.
Diawali dengan setting tempat di Maroko salah satu negara di Benua Afrika yang memiliki banyak padang gersang berbatu besar. Disini diceritakan mengenai sebuah keluarga yang memiliki 2 anak laki-laki dan dua anak perempuan yang hidup ditengah padang gersang dan jauh dari pemukiman satu ke pemukiman lain. Dua anak laki-lakinya bernama Yussef (adik) dan Ahmed (kakak). Mereka berdua biasa ditugaskan untuk menggembalakan domba-domba oleh ayah mereka, Abdullah.
Suatu hari, datanglah seseorang yang menawarkan sebuah senjata laras panjang yang memiliki kemampuan bidik hingga 3 KM. Abdullah membeli senjata tersebut untuk tujuan baik sebenarnya, agar Yussef dan Ahmed dapat lebih menjaga domba-dombanya dari para pemangsa. Namun apa mau dikata, mereka adalah anak kecil biasa yang kurang mengerti akan bahaya dari penggunaan senjata. Senjata tersebut disalah gunakan. Mereka mencoba membidik objek bus yang sedang melaju dari ketinggian bukit. Tak disangka, peluru bersarang di bahu kiri Susan Jones yang menjadi salah satu penumpang bus yang sebenarnya tak sengaja menjadi objek percobaan Yussef dan Ahmed untuk memastikan kemampuan senjatanya.
Pindah ke setting San Diego yang berada di Benua Amerika. Disinilah tempat dimana Debbie Jones dan Mike Jones tinggal. Saat itu, mereka sedang ditinggal pergi ke luar negeri oleh orang tua mereka, sehingga mereka hanya tinggal bersama pengasuhnya, Amelia yang berasal dari Mexico. Konflik pertama yang terjadi adalah ketika ayah dari Debbie dan Mike menelpon untuk menanyakan kabar dengan suara gemetar pertanda ada sesuatu yang tidak beres.
Konflik yang selanjutnya terjadi disini adalah ketika anak dari Amelia akan menikah di Mexico, sedangkan Amelia tidak mungkin untuk membawa anak asuhnya ikut ke rumahnya di Mexico. Mencoba meminta bantuan untuk menitipkan kedua anak asuhnya tersebut, tetapi tetap tidak ada yang bisa. Terpaksa Amelia membawa Debbie dan Mike untuk pergi bersamanya ke Mexico dengan berbagai risiko yang ada. Awal perjalanan hingga sampai ke Mexico aman. Namun, saat akan kembali ke San Diego, mereka terjaring di perbatasan yang memang sangat berbahaya dan rawan. Mereka terjebak di gurun gersang yang tak memiliki sumber air. Hingga akhirnya Amelia tertangkap sebagai pendatang ilegal. Ia ditangkap. Bagaimana nasib Debbie dan Mike? Kata polisinya sih aman sama mereka. Tapi entahlah, setelah itu tidak diceritakan kembali bagaimana kelanjutan nasib anak-anak itu.
Lanjut ke setting yang selanjutnya, Jepang. Yaa, Jepang yang termasuk dalam Benua Asia. Disini dikisahkan seorang gadis (maaf) tuna rungu bernama Chieko Wataya yang berwatak sensitif dan pemberontak. Ia merupakan anak seseorang yang menjadi puncak atau tersangka utama pemilik senjata, dia adalah Yasujiro Wataya. Yasujiro Wataya merupakan pemilik awal senjata yang menjadi bumerang utama dalam film ini. Ia menjual kepada seorang pria tua asal Maroko. Dan dari pria Maroko tersebut sampailah senjata tersebut ditangan Yussef dan Ahmed. Yap, kembali ke setting Jepang. Chieko Wataya dikisahkan sebagai gadis nakal yang kurang perhatian. Dikisahkan dia seperti seorang gadis yang kurang kasih sayang, sehingga ia menjadi gadis ‘nakal’ yang diam-diam suka menggoda pria yang usianya jauh diatasnya. Sekalinya bertemu sosok laki-laki yang seumuran dengannya, laki-laki tersebut direbut oleh sahabatnya sendiri, Mitsu. Ia merasa semakin ‘tidak ada yang mau dengan dirinya’.
Setting di Jepang ini sebenarnya hanya mengisahkan bagaimana kehidupan dari Chieko Wataya yang menjadi anak dari Yasujiro Wataya, bukan malah mengisahkan Yasujiro Wataya sendiri yang menjadi biang utama dari masalah. Bahkan Yasujiro Wataya disini hanya muncul beberapa kali saja. Kisah dari Chieko Wataya sendiri sebenarnya tidak ada sangkut paut dengan benang merah kisah yang difilmkan. Saya rasa ini sebagai penambah konflik dan pemanas suasana.
Kembali ke cerita. Kisah dari film ini berakhir di Maroko dengan penangkapan dan penembakan kakak beradik Yussef dan Ahmed. Ahmed tewas setelah terkena peluru dari polisi-polisi yang memburunya, dan Yussef akhirnya menyerahkan diri setelah melihat kakanya tewas tertembak.
Menurut saya, film ini sangat rumit jika harus ditonton sendiri dan hanya sekali. Setting yang tiba-tiba berubah berani ditampilkan dalam film ini. Jumping sih, tapi tetep nyambung, walupun awalnya ga ngerti kenapa bisa begitu. Alur yang dipakai dalam film ini adalah alur maju mundur yang apabila ditonton hanya setengah dari film maka Anda belum tentu mengerti akan filmnya. Film ini harus ditonton hingga selesai untuk mengetahui jalan cerita yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh para pembuatnya.
Pesannya adalah bahwa, semua perbuatan yang kita lakukan, semuanya akan mendapatkan ‘sesuatu’ sebagai balasannya. Entah saat kita sudah siap menerima balasan itu, ataupun saat kita lengah dan tidak siap sama sekali untuk menerima balasannya. Pelajaran juga didapat dari berbagai benua yang menjadi setting. Dimanapun tempat kita harus tetap waspada, bahaya selalu mengintai. Satu lagi, perbedaan bahasa bukan menjadi halangan untuk mengerti satu sama lain. Film ini saja dapat menyatukan beberapa bahasa yang justru menjadikannya sebuah film yang dramatis.

Thursday 6 June 2013

Saat Menebar MIMPI

Saat Menebar Mimpi, film dokumenter yang beirsikan tentang sebuah hal yang dianggap sebagai pengulagan dari apa yang pernah terjadi setengah abad yang lalu pada masa itu, pemilihan umum alias PEMILU, khususnya mengenai perjuangan seorang calon legislatif untuk mendapatkan sebuah ‘kursi’ di Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang pada saat itu memang merupakan badan legislatif baru.
Bicara tentang PEMILU tidak akan pernah lepas dari dunia pollitik, calon legislatif, partai, independen, kampanye dan lain sebagainya. Kampanye merupakan kegiatan yang gencar dilakukan para calon legislatif yang maju dalam persaingan memperebutkan ‘kursi’ untuk menduduki tahta sebagai wakil rakyat. Para calon wakil rakyat akan menciptakan citra sebaik-baiknya untuk mendapat perhatian dan sorotan massa.
Janji-janji dan mimpi-mimpi manis akan banyak terlontar dari mulut para calon wakil rakyat. Pencitraan diri pada warga kurang mampu akan banyak dilakukan. Kawasan-kawasan kumuh akan silih berganti mendapatkan giliran kunjungan dari para calon wakil rakyat untuk menyuarakan semua mimpi dan janjinya, juga menciptakan citra untuk merangkul rakyat kecil. Persaingan untuk memperebutkan satu ‘kursi’ wakil rakyat itupun menjadi ajang menebar janji dan  mimpi manis.
Namun, untuk menaklukan massa tidak semudah para wakil rakyat melontarkan janji dan mimpi manisnya ketika berkampanye. Warga, khususnya rakyat kecil yang sudah terlalu sering merasakan dan menelan pil pahit dari jejalan janji dan mimpi manis saat calon wakil rakyat berkampanye. Mereka sudah cukup jera untuk merasakan sakit hari. Rakyat kecil merasa terlalu sering mereka terbodohi oleh janji-janji dan mimpi-mimpi manis yang palsu. Tidak sedikit dari mereka yang berniat untuk tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih wakilnya sendiri di badan legislatif.
Bambang Warih Koesoema adalah seorang mantan menteri yang kemudian mencalonkan diri sebagai seorang calon anggota Dewan Perwakilan Daerah pada PEMILU 2004. Bambang Warih Koesoema sebagai seorang calon independen yang kemudian mencari koalisi partai untuk menambah dukungan adalah salah seorang calon anggota DPD yang selalu terjun langsung saat menebar mimpi-mimpinya kepada calon pemilih. Pemasangan poster di pinggir jalan, pencarian partai untuk berkoalisi dan kegiatan-kegiatan kampanye lain ia tangani sendiri secara langsung. Ia ingin memastikan semuanya berjalan sesuai keinginannya. Dana yang Bambang Warih Koesoema gunakan selama berkampanye adalah dana pribadi yang kemudian ditambah dengan dana dari donatur.
Mimpi, yang menurut sebagian orang adalah hal yang sangat tabu untuk dipercaya,  bahkan kebanyakan orang takut untuk bermimpi, malah mimpi menjadi sesuatu yang wajib dimiliki oleh Bambang Warih Koesoema. Bambang beranggapan mimpi adalah awal dari semua hal. Menurut Bambang, ketidak beranian untuk bermimpi adalah sesuatu yang salah. Karena mimpi adalah awal untuk mencapai suatu hal yang menjadi tujuan. Menurut Bambang, kehidupanlah yang kemudian mengajarkan para manusia sekarang untuk hidup realistis.
Disisi lain, J. Kristiadi, seorang pengamat politik mengatakan bahwa mimpi memang bukan suatu hal yang salah. Tapi, tidak sebaiknya warga atau  rakyat diajak untuk bermimpi akan suatu hal yang akan diyakini oleh masyarakat luas yang dapat menimbulkan masalah nantinya. Berpikir dan bertindaklah sesuatu yang realistis. Itu lebih baik.
Persaingan dunia politik mempang terlalu keras. Seorang mantan menteri Republik Indonesia yang harusnya telah memiliki nama dan  reputasi ternyata tidak membuat Bambang Warih Koesoema dapat memenangkan persaingan dan mendapatkan sebuah ‘kursi’ untuk menempati posisi sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah pada saat itu. Pencitraan dan mimpi-mimpi yang Bambang Warih Koesoema tebarkan belum dapat menaklukan dan meluluhkan hati massa untuk memilih dirinya sebagai wakil di legislatif. Terbukti bukan hanya reputasi dan nama yang dapat merebut satu ‘kursi’ di rana politik. Banyak faktor lain yang harus mendukung. Yaa, itulah politik! Rumit!
Penerapan ideologi demokrasi di Indonesia memang harus ditinjau ulang. Demokrasi yang seharusnya menuntut warga atau rakyatnya aktif untuk memperjuangkan suara dan haknya, justru malah membuat rakyatnya merasa terbodohi dengan segala janji-janji dan mimpi-mimpi manis dari para calon legislatif, hingga membuat mereka jera untuk memilih. Demokrasi yang harusnya mengedepankan suara rakyat malah membuat warganya malas unutk bersuara. Jika ingin tetap menerapkan demokrasi sebagai ideologi, jadikan rakyatnya untuk lebih aktif berbicara dan memperjuangkan segala hak-haknya. Latih rakyatnya untuk berani menyuarakan aspirasinya juga tindakannya. Latih juga para calon wakil rakyat maupun wakil raknyat terpilih untuk menerima, menampung dan memperjuagkan apa yang menjadi suara dan aspirasi rakyatnya.